Pada tahun 80-an pengusaha rempah-rempah bumbu pemasak makanan terkenal di Padang, H. Selamat (Alm) mencoba bikin gebrakan untuk membantu penderita cacat bibir sumbing. Bantuan ini khusus bagi rakyat yang tidak mampu. Dengan niat tulus dilakukan aksi sosial operasi bibir sumbing. Memang, tujuan baik pengusaha sukses itu sangat besar manfaatnya bagi mereka yang menderita cacat bibir sumbing. Tujuannya, tak lain, menjadikan seseorang lebih sempurna dalam penampilan fisik dan ingin menyelamatkan umat sesuai dengan namanya Haji Selamat, tapi ... setelah itu apa yang terjadi???
Ternyata, mereka yang punya bibir sumbing, punya tabiat sumbing pula. Kalau dulu, ketika masih cacat bicaranya tak jelas, suara yang keluar dari bibirnya, sengau dan kurang jelas omongannya. Tapi setelah dioperasi, ia ceplas-ceplos dan bicaranya lantang. Bahkan, ketika berkarir di politik atau memegang satu jabatan empuk bukan main angkuhnya.Ia tak lagi sadar, suara indah yang keluar melalui kerongkongan berkat operasi. Kemudian, semua janji-janji yang pernah dilontarkan kepada rakyat saat kampanye sudah dilupakan. Jadi jangan heran, kalau rakyat mencaci-maki kelakuannya dan mengibaratkan sebagai anjing.
Lucunya, anjing sebagai simbol binatang piaraan untuk menjaga rumah mereka bunuh. Ini tak lain, disebabkan rasa ketakutan berjangkit-nya virus anjing gila. Binatang penjaga rumah itu matinya cukup menggenaskan, ada yang sengaja diberi racun atau ditabrak kendaraan roda empat.
Kekejaman yang dilakukan itu sangat beralasan,karena sebagai pengganti binatang itu sudah ada. Yaitu, mereka sendiri. Buktinya, anggota dewan terhormat lebih banyak bicara daripada kerja. Bahkan, gonggongan anggota dewan tidak lagi ditakuti. Karena rakyat sudah tahu semua perbuatan dan kenistaan yang mereka lakukan.
Jadi tak bisa dipungkiri, hukum di tangan mereka bagaikan bola yang dapat ditendang kesana kemari. Tapi hukum bagi rakyat jelata bagaikan pedang yang menusuk ke hulu hati. Betapa sulitnya mencari orang yang dapat dipercaya di negeri ini, karena pemimpin atau kaum cendikiawan tak suci lagi.
Pada zaman orde lama, masa pemerintahan Ir. Soekarno ada kebijaksanaan, semua perusahaan asing yang beroperasi di tanah air harus dinasionalisasikan. Tujuannya, perusahaan asing itu dijadikan perusahaan negara. Saat itu, banyak perusahaan perkebunan, semen, batu bara dan perusahaan tambang milik orang asing disulap jadi perusahaan nasional selama lebih kurang 16 tahun memerintah.
Kemudian di era orde baru terakhir, adanya kabut asap yang terjadi selama enam bulan di Pulau Sumatera dan kemarau panjang di Pulau Jawa, adalah “tanda alam” bakal terjadi peristiwa penting di tanah air. Kenyataannya benar, H.M. Soeharto melepaskan jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, selama 32 tahun beliau memimpin bangsa ini dengan suka duka dan kenangan.
Di saat usianya mulai renta, Soeharto didesak oleh mahasiswa untuk turun, sebagai gantinya B.J. Habibie wakil sekaligus murid setianya yang dikenal sebagai ahli teknologi. Lengsernya Soeharto dari jabatannya, ada beberapa pertanda alam, seperti; batuk-batuknya Gunung Merapi karena tidak tahan menahan sedih. Gunung Merapi yang dikenal memiliki keramat dengan posisi menghadap kiblat didampingi permaisurinya Gunung Singgalang, ternyata tak mampu menahan kehendak Allah, jatuhnya sang pemimpin dari tampuk kekuasaan.
Tidak ada yang abadi di dunia ini termasuk kekuasaan. Figur mantan orang nomor satu di Indonesia, Soeharto memang belum ada tandingannya. Senyumannya membuat suasana damai dan orang-orang terkesima. Beliau adalah bapak bangsa, pada masa kepemimpinannya bangsa Indonesia begitu disegani oleh bangsa lain termasuk negara adi kuasa AS, Inggris, Perancis dan Australia. Pada pemerintahannya tidak pernah ada daerah yang ingin merdeka atau bergejolak. Letusan senjata atau ledakan bom, tak pernah terdengar. Hanya ledakan mercon dan percikan kembang api tanda rakyat bergembira ria. Bahkan, pria bertato lari sembunyi, takut bangun pagi tak bernyawa lagi. Sebagai bangsa besar dan berwibawa, membuat Australia dan Malaysia takut bersuara. Sebagai pemimpin bangsa dengan umat Islam terbesar di dunia, Soeharto dipuji oleh bangsa Asia dan Afrika. Programnya sederhana, bagaimana Indonesia sejajar dengan AS dan Eropa.
Soeharto punya program jitu untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa. Program PELITA (Pembangunan Lima Tahun) serta menghargai para petani dan pedagang kecil, yang dikenal ekonomi Pasar Inpres. Pokoknya berbau Inpres, berjalan dengan baik.
Indonesia dikenal subur, meski banyak oknum berbuat kotor dan jadi koruptor. Namun Soeharto tidak pernah bikin rakyat sengsara, dia selalu berpihak pada rakyat kecil. Pada tahun 1975, terjadi peristiwa MALARI, namun Soeharto mengetahui siapa dalang di balik peristiwa itu. Lalu dia tidak tinggal diam, siapa yang merongrong kekuasaannya dihabisi akhirnya banyak yang lari ke luar negeri.
Pada pemerintahan Orde baru memang banyak kejanggalan tapi semua bungkam. Tahun 1978, masyarakat yang dinilai berjasa meski sudah masuk usia pensiun dapat jabatan empuk menduduki posisi penting. Namun apa yang terjadi, jabatan itu disalahgunakan, kebijaksanaan tidak lagi sempurna. Saat itu, dibuka kran untuk jadi PNS secara besar-besaran. Penerimaan tidak lagi menurut aturan yaitu tanpa test. Bahkan, ada oknum Lurah yang tidak bisa tulis baca. Masya Allah, kerjanya cuma cari harta.
Soeharto menyadari sebagai manusia dia punya keterbatasan. Namun karena hasutan dan laporan yang selalu cari muka, ABS (Asal Bapak Senang) ia terjebak. Pada tahun 1982, Soeharto ingin mundur sebagai presiden RI. Tapi dicegah oleh Harmoko. Berkat laporan menyenangkan Harmoko, ia kembali naik takhta.
Harmoko dengan kekuasaannya sebagai Menteri Penerangan dengan pongahnya membredeli media massa yang dinilai berlawanan arah. Saat itu, boleh dikatakan, mengatur bangsa ibarat memandikan Kerbau. Artinya, kalau memandikan Kerbau kita tidak basah oleh air, cukup Kerbau tersebut mandi sendiri. Kondisi ini beda dengan memandikan Kuda, pemilik Kuda ikut mandi dan basah dengan air.
Tahun 1996, terjadi likuidasi Bank. Celakanya BI (Bank Indonesia) tidak berfungsi dana BLBI dibawa lari. Bahkan, pemerintah memberi izin pada pengusaha perkebunan meski kontraknya habis 40 tahun. Lalu dengan enaknya menggarap hutan lindung TNKS dan mengambil kayunya. Alasan demi memperluas perkebunan sawit rakyat.
Pengusaha cukup dengan bermodalkan selembar surat dari pemerintah setempat. Lalu dengan mudah pinjam dana dan menguras Bank Indonesia. Kepemimpinan Soeharto mulai menurun, sejak Ibu Tien wafat berdampak pada kewibawaannya.
Puncaknya pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto tidak kuat menahan gempuran desakan mahasiswa. Kemudian tampuk kekuasaan ia serahkan pada Habibie. Dia berkata, ”mampukah anda memimpin bangsa ini.” Jasa Soeharto tetap dikenang oleh anak bangsa.
Saat Habibie berkuasa banyak terjadi kemunafikan dan sesama umat Islam saling tidak percaya dengan hari besarnya. Sementara Habibie tidak punya strategi seperti yang dimiliki gurunya Soeharto. Karena tuntutan reformasi untuk menegakkan demokrasi, lalu berdirilah dengan jumlah besar “partai politik”. Celakanya, yang mendirikan partai banyak yang masuk usia uzur dan pengangguran. Semboyan partai yang mereka dirikan “demi kesejahteraan rakyat tapi menguras uang rakyat”.
Jangan heran, akibat semboyan itu, wakil rakyat era reformasi banyak masuk bui gara-gara korupsi. Pemerintahan Habibie, rakyat bersedih, propinsi Timor Timur yang dipertahankan oleh darah prajurit lepas begitu saja. Tapi Habibie sempat juga dipuji, berkat kepiawaiannya dia bisa menekan kenaikan dollar AS. Ia juga disanjung oleh PNS karena diam-diam naikkan gaji tanpa diketahui pedagang. Dilain pihak aset-aset negara yang potensial itu dirancang untuk go publik. Ceritanya yang beli pengusaha itu juga bekerjasama dengan pihak luar negeri….ya dunia sandiwara. Kemudian ketika negeri ini dipimpin oleh Gus Dur, presiden yang dikenal lucu langsung mengunjungi tanah Yahudi guna silaturrahmi dan dibuka kran sebesar-besarnya bagi masuknya investasi asing termasuk kemudahan-kemudahan yang diberikan. Leluconnya adalah, ia tidak segan-segan menertawakan dan menilai anggota dewan seperti anak TK (Tukang Korupsi).
Gus Dur selalu menghargai dan memperingati semua hari keagamaan, yang sejak zaman Presiden terdahulu dilarang, contohnya Imlek. Dia juga punya pasukan berani mati dan beliau tidak tahu masuknya bantuan dana dari Brunei Darussalam untuk Aceh. Begitu kepemimpinannya diganti Megawati, apa yang terjadi?
Hutan dan rimba tidak ada lagi, karena ditebangi dan hasilnya dinikmati oleh pencuri. Industri strategis dijual demi mengeruk keuntungan mengejar komisi. Bahkan aset negara dijual ke negara tetangga Singapura dan Malaysia. Ironisnya, pulau kebanggaan Sipadan dan Ligitan dicaplok oleh Malaysia. Maklum presiden RI wanita.
Ahli Ekonomi Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo (alm.) pernah memberi peringatan bahwa Indonesia ini seperti ladang, kalau tak hati-hati mengurusnya bisa bahaya. Ibaratnya, sekarang masih kerbau, lalu jadi kambing. Kambing menjadi ayam, dan seterusnya. Akhirnya tak ada yang tinggal lagi. Sekarang peringatan Sang Profesor makin mendekati kenyataan. Uang sudah nyaris tak punya harga lagi. Nilai uang seribu rupiah tahun lalu, mungkin tinggal lima ratus rupiah hari ini, karena harga-harga sudah naik dua kali lipat. Penghasilan? Ya begitu-begitu saja. Rencana pemerintah menaikkan gaji pegawai, ternyata sudah didahului oleh kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok rakyat. Maka berlakulah pepatah; ayam bertelor di atas padi mati kelaparan, itik berenang dalam air mati kehausan. Kekayaan yang dimiliki negeri ini tak memberi berkah bagi rakyatnya. Lantas, apa yang salah sehingga bangsa ini begitu menderita? Manusianya yang salah. Pemimpinnya yang salah. Kita lupa bertanya secara jujur kepada hati nurani. Kita selalu terperangkap dalam pola pikir ekonomi-fisik-uang. Bangunan yang belum masanya dirobohkan, sudah dihancurkan demi mengejar yang namanya uang proyek. Padahal di dalam bangunan itu ada sumberdaya manusia yang seharusnya lebih perlu ditingkatkan kualitasnya, ketimbang memaksa pembangunan bangunan baru.
Pepatah mengatakan : Taneman Maelo Todak, Naik Sampan Turun Parahu, Berpedoman Kami Nan Tidak, Angin Bakisau Kami Tau
Setelah mengilas balik fenomena ril di masyarakat kita, saatnya kita berubah. Karena seperti apa yang dipesankan oleh Prof. Soemitro, kalau negara ini tak diurus dengan hati-hati, suatu waktu akan hancur. Maka, untuk melakukan perubahan, tak mesti lewat sebuah revolusi besar, tetapi cukup mulai dengan yang terkecil, dari masing-masing individu, meluas ke keluarga, lingkungan dan bangsa.
Pangkal dari krisis yang dialami bangsa ini hingga sekarang adalah; karena terabaikannya aspek moral-agama-budaya dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Agama yang dianut oleh anak-bangsa ini kian rapuh diterpa modernisasi, begitu juga moral dan budaya. Jadi untuk mengobati bangsa ini, harus dilakukan telaah agama-moral-budaya secara serius.
Bangkitlah pemuda/i saudaraku sebangsa, dengarlah panggilan tanah air tercinta
Zaman dahulu manusia yang miskin yang berkekurangan artinya manusia hidup hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan nafkah sehari-hari takut berhutang. Zaman sekarang manusia yang kaya selalu berhutang karena ia hidup selalu merasa kekurangan. Artinya manusia itu hidup tidak masalah dililit oleh hutang, yang penting cari kelebihan kepuasan hidup selaku manusia modern mengutamakan gengsi dan penampilan. (Binatang yang buas namun kenyataan manusia itu lebih buas dari binatang).
Peringkat Indonesia dalam soal korupsi dari tahun ke tahun selalu berubah. Tapi berubahnya dari itu ke itu juga. Selalu di nomor atas. Maksudnya, berapa kalipun dilakukan riset dan survei, korupsi di Indonesia selalu masuk golongan negara terparah. Tapi kenapa sebagai bangsa yang menjadikan ’alam takambang jadi guru’, bangsa ini tak pernah mau belajar dari kesalahan tersebut. Anak kecil juga tahu, untuk membersihkan halaman yang kotor harus menggunakan sapu yang bersih. Untuk membersihkan negeri ini dari korupsi, harus ada sistem hukum yang baik dan manusianya yang bersih serta kredibelitasnya terjamin. Tapi di sini, aparat penegak hukum sendiri tidak bersih, bagaimana bisa mengharapkan mereka berani membersihkan belantara korupsi yang sudah begitu akutnya? Akhirnya, yang kita dengar dan lihat cuma ’maling teriak maling’. Korupsi jalan terus, negara makin hancur.
Dalam ranah politik juga begitu. Kita selalu berat hati untuk mengatakan bahwa lembaga parlemen kita juga sarang koruptor. Padahal, dari waktu ke waktu kita disuguhi oleh pemandangan memalukan dari gedung parlemen tersebut bahwa mereka yang menyebut diri ’orang terhormat’ itu selalu mencari kesempatan dan dalih untuk mempurukkan duit ke kantong pribadinya. Sementara di seberang sana, rakyat yang mereka wakili menjerit mati kelaparan karena harga-harga yang makin tak terjangkau.
Dalam kehidupan kenegaraan, juga bisa diibaratkan seperti kehidupan di rumah tangga. Pada tahun-tahun awal, mungkin saja terjadi cek-cok dan ribut-ribut untuk mencari kesesuaian dan penempatan diri dalam keluarga. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya, sebagai kepala negara (identik dengan kepala keluarga di rumah tangga) terbukti telah bertindak arif dan bijaksana. Dia sangat mengerti perannya sebagai kepala negara yang tidak perlu banyak bicara. Dengan pembawaan yang tenang dan pasti SBY telah mensortir para pembantunya, mana yang berbuat dengan hati nurani untuk kebaikan bangsa, mana yang berbuat hanya untuk uang ini. Tindakan yang diambil SBY sudah tepat, karena begitu rumitnya persoalan yang ditinggalkan oleh tiga presiden sebelum SBY. Bukti kebijaksanaannya perombakan Kabinet Gotong Royong tidak menimbulkan gejolak dan keributan. Malah orang/tokoh yang sebelumnya selalu mengejek sikap SBY jadi malu sendiri dan berdiam diri, termasuk dari publikasi. Karena biarlah mereka itu berbicara mencaci maki atau menghujat tetapi perbuatan sendiri yang akan menghukum dirinya sendiri nanti lebih berat hukuman itu (Hukum Adat) dari pada dimasukkan ke bui (sel tahanan), kasihan anak, istri dan cucu teraniaya hidupnya nanti (hukum pemerintah).
SBY menyadari negara ini baru belajar demokrasi, beliau selaku kepala negara melihat banyak yang tidak berfungsi, seperti BPK, BPKP yang belum sesuai dengan tugas yang diembannya untuk membangun negeri termasuk lembaga peradilan, maka dibentuklah KPK dan Mahkamah Konstitusi di luar lembaga yang telah ada. Sebetulnya itu bisa dijadikan satu lembaga saja, sehingga tidak banyak mengeluarkan biaya. Di lain pihak partai politik yang ada terlampau banyak, sehingga demokrasi terlalu kebanyakan akhirnya kebablasan. Diibaratkan preman, kalau jumlahnya banyak, maka masalah juga akan banyak. Seyogyanya cukup tiga saja, supaya dapat mengaturnya menjadi lebih baik dan musyawarah mufakatpun lebih terdengar dan bisa diputuskan dengan lebih bijaksana. Coba kita renungkan dengan pikiran dan akal sehat. Bukan berarti dijadikan tiga partai, pemerintah bersikap otoriter.
Kita prediksi, lima tahun ke depan akan terasa hasilnya. Ini bila SBY tetap konsisten serta isteri dan anak-anaknya kompak. Apa yang tampak dalam kehidupan keluarganya, bisa mencerminkan kehidupan bangsa yang dipimpinnya. Dalam kehidupan berkeluarga, mereka sudah dewasa usianya. Untuk membuktikan diri, tentu saja SBY harus belajar banyak dari kelemahan para pendahulunya.
Judul tulisan di atas sengaja dipilih, karena satu sama lainnya tak bisa dipisahkan. Menelanjangi diri sendiri mengandung arti bahwa siapa saja, baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat melihat dirinya sendiri. Dari potret itulah dengan jujur kita semua bisa mengakui bahwa di badan kita dan di masyarakat kita ada cacat-kebaikan, ada kesalahan-kebenaran. Hanya dengan kejujuran mengakui semua itulah, kita dan bangsa ini bisa membangun masyarakat baru yang lebih baik.
Masuk kandang kambing kita mengembek, masuk kandang harimau kita mengaum, namun masuk kandang ayam jangan berkotek, sama kita dengan ayam. Atau diambil ayamnya ditangkap polisi nanti, jadi ambillah telurnya (ilmu) ayamnya tidak tahu.
Maka dari itu kita hidup penuh dengan Optimis (Oke Tak Miskin) daripada Pesimis (Pasti Miskin). Sama artinya; kalau takut rugi, akan rugi selamanya. Wassalam…