16 Juni 2008

Anak Ajaib Dari Rantau (JG)

Kehadiran Jeffrie Geovani di pentas demokrasi Sumatera Barat ketika pemilihan gubernur beberapa tahun lalu, jadi pembicaraan rakyat. Mulai dari kalangan ABG (Anak Baru Gede) sampai wanita dewasa, figur Jeffrie yang lebih akrab dipanggil JG singkatan namanya, memang populer di kalangan kaum hawa atau gadis remaja. Ini disebabkan, wajah yang ganteng dan tak kalah dengan bintang sinetron yang sering ditayangkan TV swasta.

Putera Limbanang Payokumbuah ini, boleh disebut “Si Anak Ajaib”, dengan usia paling muda dibandingkan empat kandidat lainnya. Ternyata JG mampu menarik simpati rakyat. Bahkan, ia tidak peduli berapa banyak jumlah dana yang keluar dari kantongnya. Ajaibnya lagi, ia mampu bersaing dan menempati urutan ketiga dalam perolehan suara sementara. Sedangkan calon lain yang diusung beberapa partai besar kalah bersaing.

Keajaiban yang didapat JG itu merupakan karunia Allah, dan diprediksi lima tahun mendatang ia adalah calon kuat untuk kepemimpinan Sumbar. Ini tak lain berkat kepintaran dan keluwesan berdialog dengan rakyat membuat JG jadi idola. Maka tak mengherankan, ia jadi idola kaum wanita dan membuat calon lain waspada. Karena, selain JG memiliki wajah ganteng, ternyata otaknya juga encer dan memiliki segudang pengetahuan. Bahkan, soal wawasan JG tidak kalah meski ia berusia muda. Namun, kecakapan, wajah dan wawasan tidak menjamin rakyat bakal memilihnya sebagai orang nomor satu di Sumbar. Kendati demikian, terpilih atau tidak, JG tetap tertawa. Karena targetnya bukanlah sebagai gubernur, tapi mendidik rakyat Sumbar bagaimana berdemokrasi yang baik. Bagi JG reformasi kepemimpinan negeri ini sangat penting, karena ia melihat Sumbar sudah jauh tertinggal dibandingkan provinsi lain. Untuk itu, ia bersedia tampil ke depan bertarung dengan empat jagoan yang diusung partai politik masing-masing. Bahkan, saat kampanye JG boleh dikatakan beda dengan kandidat lainnya. Ia berani tampil beda dan melakukan pembaharuan. Gayanya ini mengingatkan kita kampanye yang dilakukan Presiden AS Bill Clinton. Yaitu, menemui rakyat langsung dari pintu ke pintu. Selain itu, spanduk atau brosur yang beredar tidak ada kalimat calon gubernur hanya Nomor Urut 5 dan Berbakti ka Nagari.

Kalimat Berbakti ka Nagari yang tertera di brosur dan spanduk memiliki makna sangat dalam. JG diam-diam melakukan pengabdian ke nagari-nagari di Sumbar atau tanah kelahiran orang tuanya. Dan wajar yang tahu cuma segelintir orang, karena saat itu bukanlah kampanye politik. Sebetulnya sejak awal JG sudah tahu, ia tidak bakalan beruntung dalam kancah perpolitikan Sumbar. Namun, karena panggilan nurani selaku putera daerah ia berani terjun. Dan JG sudah mempersiapkan semua sarana dan prasarana yang bernilai cukup besar. Hasilnya, cukup mengejutkan. Meski ia berpose menyamping dan berlawanan dengan pasangannya Dasman Lanin wajahnya agak ke depan. Ternyata, suara yang ia raih tidak tanggung-tanggung mengalahkan partai besar Golkar dan PPP serta Demokrat. JG menduduki ranking nomor tiga di bawah Irwan Prayitno yang diusung PKS.

Meski belum beruntung JG merupakan asset pemimpin masa depan yang dimiliki Sumbar. Beliau diprediksi lima tahun ke depan, seandainya JG bersedia kembali bertarung memperebutkan kursi nomor satu daerah ini ia merupakan ancaman serius bagi calon-calon Iainnya. Jadi kekalahan atau ketidakberuntungan kali ini, merupakan awal kebangkitan bagi JG untuk memimpin Sumbar ke depan. Ini sebuah pembuktian baginya, bahwa ia adalah Putera Minang yang berhasil di rantau. Ia juga bersyukur, karena saat ini memimpin rakyat yang tidak mengerti sangat sulit dibandingkan yang mengerti.

Ini dapat dicontohkan, perusahaan besar sudah pasti mencari karyawan yang berpengalaman. Karena yang sudah berpengalaman lebih mudah dan akan mengerti pekerjaan, dibandingkan karyawan pemula yang tak tahu apa-apa. Jadi wajar kita mengacungkan jempol kepada JG, karena ia dengan bahagia menerima kekalahannya. Dan rakyat Sumbar menyadari begitu pentingnya reformasi kepemimpinan. Karena selama ini kita sudah dijajah oleh bangsa sendiri lewat kepemimpinan yang korupsi. Pemunculan JG di kampung halaman, merupakan kelanjutan sejarah keberhasilan perantau Minang yang mau kembali dan ingin mengulang sukses di kampung sendiri.

Urang sumando diranah minang ada empat macam, yaitu :

1. Urang Sumando kacang miang gilo mangiek jo manggisia; suka bercerita kejelekan orang lain.

2. Urang Sumando lapiak buruk gilo maulek anak bini; tidak mau tahu urusan saudara sanak famili yang diurus anak bini saja.

3. Urang Sumando langau hijau pangkal bala dalam kampung; sifatnya suka usil (provokator).

Ketiga jenis Urang Sumando di atas tidak terpakai di Ranah Minang. Ibarat sebuah bengkel tempel ban. Ban keras atau lunak tetap dipompa, gosok manggosok asal berlubang diampaleh keluar angin inyo tambal, bocor satu dibilang tiga, bocor dua jadi lima, ini disebut tukang tumbok ban nan mantiko buruak. Akibat perbuatannya itu masyarakat banyak yang terania walaupun kerjanya benar, tetap dinilai jelek, sedangkan tukang tumbok mantiko ini tertawa-tawa saja, hatinya senang melihat orang susah. Ini namanya pimpinan kurang ajar.

Bila kita sebut sebagai pemimpin (guru) sama artinya, berbuat sedikit tidak banyak bicara yakni; Urang Sumando ninik mamak, tempat lawan berbicara (pukek jalo kumpulan ikan) pulang bakeh babarito (setelah bertanya senang hati kita dapat jalan keluar yang terbaik). Menjernihkan air yang keruh (bila salah diluruskan kepada kebenaran) menyelesaikan banang yang kusuik (kerumitan-kerumitan perselisihan yang terjadi dia buat perdamaian ketentraman dalam hidup).

Maka dari itu lebih baik cari istri orang miskin, tapi tahu diri (selaku seorang ibu) dari pada punya istri Orang Kaya Baru (OKB) sakit dibuatnya perasaan ini karena yang ia pikirkan duniawi semata (enak kita menjadi seorang ibu bukan selaku istri).

Jujur dalam pengabdian namun jangan curang dalam pembagian atau curang didalam penempatan posisi jabatan di kantor, nanti orang bilang Malin Kundang.

Datuak yang Minang, bak pepatah: Kaluak paku kacang balimbiang, tampuruang lenggang lenggokkan, baok bajalan ka saruaso, anak dipangku kamanakan dibimbiang, urang kampuang dipatenggangkan jo raso jo pareso, supayo nagari jan binaso. Datuk di luar Minang : Kaluak paku kacang balimbiang, tampuruang lenggang-lenggokkan, baok bajalan ka saruaso. Den cibuak kau dari baliak dindiang, raso dibibia tapi cawan kamanitiak aia salero. Musim pabilo kabasuo disinan kito malapeh salero.

Ganti rugi dengan ganti balabo itu beda, ganti rugi itu untuk menindas rakyat jadi harus ganti balabo kepada rakyat kalau untuk demi pembangunan rakyat. Kalau ganti rugi otomatis pemerintah akan beruntung. Bukan ganti balabo untuk oknum pemerintah. Sehingga rakyat pun mesti tahu diri dan pemerintahpun mesti membina untuk rakyat. Mari sama-sama kita berdoa dan Insya Allah terkabul dan kita perlu menyadari bukan untuk mencari ribut, pepatah Minang ”sumpah kato balaku”.

Rumah Makan Minang dan Rumah Makan Padang berbeda, Rumah Makan Minang manajemennya bagi hasil atau hitung persen. Kalau Rumah Makan Padang karyawannya digaji. Orang Cina/Jepang makan memakai sumpit, tiga untuk dia, dua untuk orang lain, sedikit tapi hujan rintik-rintik. Orang kita makan pakai tangan, lima jari untuk dia semua atau sekali hujan deras saja, sedangkan orang barat pakai sendok dan garpu lihat situasi yang baik. Itu menunjukkan bagi masyarakat yang tahu, namun bagi masyarakat yang tidak tahu, atau generasi kurang nyambung tidak masalah. Olala.....Olalala.....Lain pula dengan Datuak Dalu sang penjual obat yang telah almarhum, tolong juga diampuni dosanya semasa hidup di dunia. Kalau dia tahu pasti akan terangsang.

Minang itu milik dunia, Ranah Minang milik Sumatera Tengah, Sumatera Barat ibukotanya Padang.

MINANG Beda dengan PADANG

Minang berarti kebenaran, kerbau sebaliknya. Jadi Minangkabau artinya “menang dengan kebenaran”. Orang Minang bisa tulis baca setelah masuk ajaran Agama Islam. Dalam rentang waktu 20 tahun terakhir ini, terjadi perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat Minang. Perubahan itu, ibarat kata pameo; jalan lah diasak urang lalu, cupak lah diganti dek urang panggaleh. Maksud dari tulisan ini tak lain dan tak bukan untuk sekedar menggugah hati Saudara-saudara saya di Alam Ranah Minang, agar sama-sama menyadari perubahan tersebut untuk dicarikan solusinya ke depan.

Untuk menjadi pemimpin seseorang harus memenuhi syarat utama sebagai berikut :

v Bagalanggang di mato urang banyak, maksudnya seseorang pemimpin harus memiliki track record yang tidak diragukan oleh khalayak ramai tentang prestasi yang pernah diraihnya bukan ditender oleh partai.

v Basuluah matoari, yaitu kesuksesan sang pemimpin harus dikenal oleh orang banyak bukan hanya oleh kelompok-kelompok tertentu saja, agar sang pemimpin dapat diterima oleh pengikutnya tanpa adanya keragu-raguan.

Ibarat pepatah Minang

Baranang kabau dalam tabek (berenang kerbau dalam kolam)

Didalam tabek digigik lintah (didalam kolam digigit lintah)

Kok panghulu indak tahu kato nan ampek (bila pemimpin tidak tahu kata yang empat)

Balunlah buliah mamarentah (belum bisa dia memerintah)

Selama ini, Sumatera Barat yang dikenal lumbung pendidikan berbudaya apakah benar-benar sudah berbudaya? Atau membudayakan pendidikan ke arah negatif?

Namun sayang, sosok orang pintar yang disegani tinggal tidak seberapa. Ini adalah buah dari pendidikan yang salah. Kenakalan remaja jadi menu setiap hari. Tapi pernahkah kita mendengar kenakalan orang tua. Padahal, kenakalan orang tua (pemimpin) lebih dahsyat lagi. Melakukan korupsi dan selingkuh.

Selalu Ingin Lebih Baik

Istana Negara Tri Arga, dulunya diagung-agungkan sekarang disulap jadi sebuah Hotel Novotel. Padahal, Istana Tri Arga yang terletak di jantung kota Bukittinggi, punya nilai sejarah yang sangat tinggi, JASMERAH kata almarhum Soekarno. Disana, ada sekolah rakyat, tempat bersekolahnya Proklamator RI, Bung Hatta. Tak hanya itu, juga terdapat kantor pengadilan yang pernah mengadili tokoh-tokoh perjuangan.

Namun sungguh amat disayangkan, ketika itu Gubernur Sumbar, ikut memuluskan ketika sebuah Istana disulap jadi hotel milik swasta. Dan kemana raibnya dana kompensasi tanah tersebut. Ada juga yang bertanya, kenapa sampai sekarang fasilitas umum, Istana Tri Arga, dijadikan Hotel Novotel. Padahal namanya Istana Negara RI wajib dijaga kelestariannya, bukan dijadikan tempat bisnis.

Percuma saja memiliki Profesor dan Doktor yang jumlahnya segudang dengan biaya pendidikan ditanggung negara. Tapi hanya bisa bicara dari warung ke warung. Bukannya berbuat untuk kebaikan negara. Sampai pabrik Semen Indarung diakuisisi, masyarakat minang mainbau MUI, LKAAM, Ormas lainnya dan Publikasi ribut-ribut setelah keluar komisi dan mendapat jabatan posisi tidak terdengar suaramu lagi. Walaupun bertukar namanya PT RAJAWALI untuk menyenangkan hati. Dasar Bangsa Kaki Lima, itulah namanya.

Presiden pilihan rakyat SBY adalah sosok yang pintar, bukan orang pandai yang gila sanjungan dan hormat. Orang pintar seperti : Alm. Bung Hatta, Alm. Buya Hamka, Prof. Emil Salim, Jendral Sudirman (Alm), Tuanku Imam Bonjol (Alm) dan sebagainya begitu disegani keberadaannya, dan perhatikanlah!! bagaimana para orang-tua mendidik anak-anaknya supaya dapat seperti mereka-mereka itu di kemudian hari nantinya.

Dua kerusakan mendasar dalam masyarakat kita saat ini adalah kerusakan nagari dan kerusakan tapian. Artinya, kerusakan itu terjadi dari yang kecil dan sangat pribadi yaitu tapian (tempat mandi). Kerusakan lebih luas dan besar, yaitu nagari sebagai wadah bermasyarakatnya orang Minang. Untuk melihat sejauhmana kerusakan tersebut, ada baiknya kita telusuri mulai dari tunjuk ajar yang sering kita dengar dalam berbagai pertemuan kaum maupun pertemuan nagari. Tunjuk ajar itu adalah; rusak nagari dek pangulu, rusak tapian dek nan mudo. Hal itu memang sedang terjadi, dua kerusakan sekaligus.

Pada tahun 80-an, lahir lagu kocak yang dibawakan almarhum Syamsi Hasan, tembang Minang itu cukup populer dan meledak di pasaran. Kaset yang diproduksi Tanama Record itu seolah-olah menyindir kehidupan masyarakat Minang yang sudah lari dari Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Bahkan, pertanda daerah ini sudah diambang kehancuran.

Padahal, saat itu sosok Syamsi Hasan yang juga pegawai negeri merasakan tanah kelahirannya Sumatera Barat hancur gara-gara kepemimpinan salah arah. Dimana-mana terjadi ketidakberesan, oknum pejabat yang dekat dengan pemilik kursi nomor satu di rumah Bagonjong, menikmati enaknya mengeruk keuntungan pribadi. Zaman itu, tidak ada yang berani bersuara vokal untuk menentang perbuatan bejat sang pejabat atau pemerintah yang salah jalan. Maka Syamsi Hasan, dengan gayanya sendiri mencoba lewat lirik lagu sebagai bahasa kiasan. Tujuannya, agar rakyat lebih arif, namun dengan lirik lagu itu banyak yang tak mengerti. Seperti judul lagu, Lego Pagai, menantu dengan mertua, anak dengan ayah, mamak dengan kemenakan pada berantam. Kemudian urang sumando bertingkah macam-macam. Ini tak lain, karena banyaknya orang jadi sumando di tanah Minang dan banyak pula perangainya. Seperti sumando berasal dari suku Batak, maka terciptalah lirik lagu Sopir Batak Stokar Kaliang, artinya, suku dari utara itu cuma bisa bersuara keras dan lantang, sedangkan stokar orang Kaliang pintar bicara tapi hasil tak ada. Jadi ada pameo mengatakan, lidahnya seperti urang kaliang.

Kondisi Ranah Minang makin rusak, karena tidak ada lagi penghargaan bagi Bundo Kanduang. Kaum wanita yang begitu diagungkan di Ranah Minang mulai melakukan perbuatan tidak senonoh. Maka lahirlah lagu Saleha. Lirik ini menceritakan bagaimana seorang wanita yang tidak setia dan selalu berbohong dengan kekasihnya. Kemudian, tak terhitung banyaknya orang Boco Aluih, terutama niniak mamak yang seenak perutnya memberikan gelar Datuak kepada orang-orang berduit. Sebetulnya, mereka itu tidak pantas dengan gelar yang disandang itu. Hal ini disebabkan, niniak mamak lebih mementingkan keuntungan pribadinya dibandingkan untuk kaum sendiri. Bahkan, tidak segan-segan berantam dengan anak kemenakan soal tanah. Karena matanya sudah silau dengan harta duniawi yang tidak bisa dibawa mati.

Di masa pergerakan kemerdekaan, para perantau Minang sudah sukses sebagai tokoh pergerakan nasional hingga Indonesia merdeka. Sebut saja beberapa contoh, Alm. DR. Haji Abdullah Ahmad (PGAI), Bung Hatta (Alm), Agus Salim (Alm), M Yamin ( Alm), Mr. Assaad (Alm), M. Natsir (Alm), Tan Malaka (Alm), Sjahrir (Alm), dan lain-lain. Sejumlah pebisnis Minang yang besar di rantau juga sempat membesarkan bisnisnya di kampung, seperti : NPM, HZN, dan ANS. Begitu pula di bidang perhotelan seperti Hotel Dimens dan Hotel Denai. Untuk menggerakkan roda ekonomi daerah, para pedagang Minang yang telah sukses di rantau bersepakat pula mendirikan Bank Nasional (Banas) di Kota Bukittinggi Bank ini merupakan bank pertama di republik ini. M. Ruzuar (alm.) (Wowo Group) dealer mobil Dodge, Fiat, Jeep, Ford, Pabrik dan Ekspor Impor, Hadis Didong, Pabrik Minyak Goreng dan Pabrik Sabun. H. Hasyim Ning (Alm) pengusaha nasional. Karatau madang di hulu, Babuah babungo balun, Marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun. Kok jadi bujang ka Pakan, iyu bali balanak bali, Ikan panjang bali dahulu, Kok jadi bujang bajalan, ibu cari dunsanak cari, Induk samang cari dahulu. Maka dari itu kehidupan di rantau kita jadikan guru untuk memimpin kampung halaman, bukan sebagai pengajar.

Dalam pemerintahan daerah dan perguruan tinggi, sejumlah tokoh Minang juga berhasil dalam karirnya, seperti; Di zaman Prof. Harun Zain ada nama seperti Prof. Mawardi Yunus, Prof. Firdaus Rifai, Prof. Yacub Isman (Alm), Prof. Djamil Bakar (Alm), Ismail Lengah (Alm), Prof. Mahmud Yunus (Alm), Prof. Asnawi Karim (Alm) Achjarli A Djalil, SH, Prof. Alfian Lains, Prof. Herman Sihombing (Alm), Prof Hendra Esmara (Alm), dan sebagainya. Di masa itu juga ada nama Dokter H. Ali Akbar (Alm) yang mendirikan perguruan tinggi dan rumah sakit YARSI. Di kalangan artis Hj. Erni Djohan, Hj. Elly Kasim, Nuskan Syarif (Alm) artis ibukota. Sementara di era Azwar Anas, muncul nama-nama seperti; H. Karseno, Drs. Sjoerkani (Alm), A. Kamal, SH (Alm), Prof. Ir. Tamrin Nurdin, Anas Malik (alm), Nur. B. Pamuncak (alm), Yanuar Muin, Syahrul Udjud,SH, Sabri Zakaria, Ir. Zulfi Syarif, Prof. Amir Syarifudin, Drs. Tasnim Dahlan (Alm), Drs. Amir Ali (Alm) (Dinas P & K Sumbar), Drs. Aristo Munandar (sekarang Bupati Agam), dan lain-lain. Dalam bidang bisnis, orang Minang yang cukup sukses membuka usaha di daerah ini seperti Sutan Kasim (Alm) mendirikan PT Sutan Kasim/Suka Fajar, Kasuma (Alm) dan Anas Lubuk (Alm) yang membesarkan Harian Haluan, S. Dt. Pangeran (Hotel Pangeran’s), H. Amran (Baiturrahmah), Gusman Gaus (Alm) (perkayuan) serta Indomar Asri (Grafos), . Basrizal Koto (Minang Plaza), H. Syamsudin (Hotel Rocky). H. Aminuzal Amin, H. Bustanul Arifin, pengusaha nasional. Jenderal Polisi Awaluddin Djamin, Mayjend TNI Syamsu Djalal, Prof. Emil Salim.

Berbeda dengan yang besar di daerah yang ditunjuk sebagai pemimpin, dia punya kelompok dan perangai sehingga dalam mengambil keputusan tak netral. Aspek negatifnya menonjol termasuk mengangkat staf bukan berdasarkan mutu dan kualitas dalam bekerja unsur pertemanan yang lebih dominan. Sekarang yang dimaksud dengan kerusakan nagari tentunya kerusakan adat istiadat. Umpamanya kok limbago ka dituang, adaik ka diisi, raso jo pareso nan manipih. Mamak lah bak kato mamak, kamanakan lah bak kato kamanakan. Itulah yang terjadi di alam Minangkabau sekarang.

Jujur dalam pengabdian, namun dalam pembagian bagaimana hasilnya…? Orang perantau mengapa lebih sukses dan berhasil…? Apalagi kalau memimpin kampung halaman. Adapun perbandingan yang bisa kita ambil hikmahnya, yakni : Masyarakat pendatang atau perantau biasanya mereka rajin, sabar, mau belajar, mau melihat lingkungan sekitarnya, mau mendengar nasehat dan cerita pengalaman dari orang tua, berhemat tidak boros dan sebagainya. Sedangkan masyarakat asli atau penduduk setempat itu lebih cenderung malas bekerja, mereka lebih suka disanjung atau dihormati tidak mau mendengar nasehat orang tua, punya watak atau karakter sok tahu, lebih senang menceritakan kejelekan orang lain, tidak mau mengkoreksi diri.


Pemimpin Bibir Sumbing

Pada tahun 80-an pengusaha rempah-rempah bumbu pemasak makanan terkenal di Padang, H. Selamat (Alm) mencoba bikin gebrakan untuk membantu penderita cacat bibir sumbing. Bantuan ini khusus bagi rakyat yang tidak mampu. Dengan niat tulus dilakukan aksi sosial operasi bibir sumbing. Memang, tujuan baik pengusaha sukses itu sangat besar manfaatnya bagi mereka yang menderita cacat bibir sumbing. Tujuannya, tak lain, menjadikan seseorang lebih sempurna dalam penampilan fisik dan ingin menyelamatkan umat sesuai dengan namanya Haji Selamat, tapi ... setelah itu apa yang terjadi???

Ternyata, mereka yang punya bibir sumbing, punya tabiat sumbing pula. Kalau dulu, ketika masih cacat bicaranya tak jelas, suara yang keluar dari bibirnya, sengau dan kurang jelas omongannya. Tapi setelah dioperasi, ia ceplas-ceplos dan bicaranya lantang. Bahkan, ketika berkarir di politik atau memegang satu jabatan empuk bukan main angkuhnya.Ia tak lagi sadar, suara indah yang keluar melalui kerongkongan berkat operasi. Kemudian, semua janji-janji yang pernah dilontarkan kepada rakyat saat kampanye sudah dilupakan. Jadi jangan heran, kalau rakyat mencaci-maki kelakuannya dan mengibaratkan sebagai anjing.

Lucunya, anjing sebagai simbol binatang piaraan untuk menjaga rumah mereka bunuh. Ini tak lain, disebabkan rasa ketakutan berjangkit-nya virus anjing gila. Binatang penjaga rumah itu matinya cukup menggenaskan, ada yang sengaja diberi racun atau ditabrak kendaraan roda empat.

Kekejaman yang dilakukan itu sangat beralasan,karena sebagai pengganti binatang itu sudah ada. Yaitu, mereka sendiri. Buktinya, anggota dewan terhormat lebih banyak bicara daripada kerja. Bahkan, gonggongan anggota dewan tidak lagi ditakuti. Karena rakyat sudah tahu semua perbuatan dan kenistaan yang mereka lakukan.

Jadi tak bisa dipungkiri, hukum di tangan mereka bagaikan bola yang dapat ditendang kesana kemari. Tapi hukum bagi rakyat jelata bagaikan pedang yang menusuk ke hulu hati. Betapa sulitnya mencari orang yang dapat dipercaya di negeri ini, karena pemimpin atau kaum cendikiawan tak suci lagi.

Pada zaman orde lama, masa pemerintahan Ir. Soekarno ada kebijaksanaan, semua perusahaan asing yang beroperasi di tanah air harus dinasionalisasikan. Tujuannya, perusahaan asing itu dijadikan perusahaan negara. Saat itu, banyak perusahaan perkebunan, semen, batu bara dan perusahaan tambang milik orang asing disulap jadi perusahaan nasional selama lebih kurang 16 tahun memerintah.

Kemudian di era orde baru terakhir, adanya kabut asap yang terjadi selama enam bulan di Pulau Sumatera dan kemarau panjang di Pulau Jawa, adalah “tanda alam” bakal terjadi peristiwa penting di tanah air. Kenyataannya benar, H.M. Soeharto melepaskan jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, selama 32 tahun beliau memimpin bangsa ini dengan suka duka dan kenangan.

Di saat usianya mulai renta, Soeharto didesak oleh mahasiswa untuk turun, sebagai gantinya B.J. Habibie wakil sekaligus murid setianya yang dikenal sebagai ahli teknologi. Lengsernya Soeharto dari jabatannya, ada beberapa pertanda alam, seperti; batuk-batuknya Gunung Merapi karena tidak tahan menahan sedih. Gunung Merapi yang dikenal memiliki keramat dengan posisi menghadap kiblat didampingi permaisurinya Gunung Singgalang, ternyata tak mampu menahan kehendak Allah, jatuhnya sang pemimpin dari tampuk kekuasaan.

Tidak ada yang abadi di dunia ini termasuk kekuasaan. Figur mantan orang nomor satu di Indonesia, Soeharto memang belum ada tandingannya. Senyumannya membuat suasana damai dan orang-orang terkesima. Beliau adalah bapak bangsa, pada masa kepemimpinannya bangsa Indonesia begitu disegani oleh bangsa lain termasuk negara adi kuasa AS, Inggris, Perancis dan Australia. Pada pemerintahannya tidak pernah ada daerah yang ingin merdeka atau bergejolak. Letusan senjata atau ledakan bom, tak pernah terdengar. Hanya ledakan mercon dan percikan kembang api tanda rakyat bergembira ria. Bahkan, pria bertato lari sembunyi, takut bangun pagi tak bernyawa lagi.

Sebagai bangsa besar dan berwibawa, membuat Australia dan Malaysia takut bersuara. Sebagai pemimpin bangsa dengan umat Islam terbesar di dunia, Soeharto dipuji oleh bangsa Asia dan Afrika. Programnya sederhana, bagaimana Indonesia sejajar dengan AS dan Eropa.

Soeharto punya program jitu untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa. Program PELITA (Pembangunan Lima Tahun) serta menghargai para petani dan pedagang kecil, yang dikenal ekonomi Pasar Inpres. Pokoknya berbau Inpres, berjalan dengan baik.

Indonesia dikenal subur, meski banyak oknum berbuat kotor dan jadi koruptor. Namun Soeharto tidak pernah bikin rakyat sengsara, dia selalu berpihak pada rakyat kecil. Pada tahun 1975, terjadi peristiwa MALARI, namun Soeharto mengetahui siapa dalang di balik peristiwa itu. Lalu dia tidak tinggal diam, siapa yang merongrong kekuasaannya dihabisi akhirnya banyak yang lari ke luar negeri.

Pada pemerintahan Orde baru memang banyak kejanggalan tapi semua bungkam. Tahun 1978, masyarakat yang dinilai berjasa meski sudah masuk usia pensiun dapat jabatan empuk menduduki posisi penting. Namun apa yang terjadi, jabatan itu disalahgunakan, kebijaksanaan tidak lagi sempurna. Saat itu, dibuka kran untuk jadi PNS secara besar-besaran. Penerimaan tidak lagi menurut aturan yaitu tanpa test. Bahkan, ada oknum Lurah yang tidak bisa tulis baca. Masya Allah, kerjanya cuma cari harta.

Soeharto menyadari sebagai manusia dia punya keterbatasan. Namun karena hasutan dan laporan yang selalu cari muka, ABS (Asal Bapak Senang) ia terjebak. Pada tahun 1982, Soeharto ingin mundur sebagai presiden RI. Tapi dicegah oleh Harmoko. Berkat laporan menyenangkan Harmoko, ia kembali naik takhta.

Harmoko dengan kekuasaannya sebagai Menteri Penerangan dengan pongahnya membredeli media massa yang dinilai berlawanan arah. Saat itu, boleh dikatakan, mengatur bangsa ibarat memandikan Kerbau. Artinya, kalau memandikan Kerbau kita tidak basah oleh air, cukup Kerbau tersebut mandi sendiri. Kondisi ini beda dengan memandikan Kuda, pemilik Kuda ikut mandi dan basah dengan air.

Tahun 1996, terjadi likuidasi Bank. Celakanya BI (Bank Indonesia) tidak berfungsi dana BLBI dibawa lari. Bahkan, pemerintah memberi izin pada pengusaha perkebunan meski kontraknya habis 40 tahun. Lalu dengan enaknya menggarap hutan lindung TNKS dan mengambil kayunya. Alasan demi memperluas perkebunan sawit rakyat.

Pengusaha cukup dengan bermodalkan selembar surat dari pemerintah setempat. Lalu dengan mudah pinjam dana dan menguras Bank Indonesia. Kepemimpinan Soeharto mulai menurun, sejak Ibu Tien wafat berdampak pada kewibawaannya.

Puncaknya pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto tidak kuat menahan gempuran desakan mahasiswa. Kemudian tampuk kekuasaan ia serahkan pada Habibie. Dia berkata, ”mampukah anda memimpin bangsa ini.” Jasa Soeharto tetap dikenang oleh anak bangsa.

Saat Habibie berkuasa banyak terjadi kemunafikan dan sesama umat Islam saling tidak percaya dengan hari besarnya. Sementara Habibie tidak punya strategi seperti yang dimiliki gurunya Soeharto. Karena tuntutan reformasi untuk menegakkan demokrasi, lalu berdirilah dengan jumlah besar “partai politik”. Celakanya, yang mendirikan partai banyak yang masuk usia uzur dan pengangguran. Semboyan partai yang mereka dirikan “demi kesejahteraan rakyat tapi menguras uang rakyat”.

Jangan heran, akibat semboyan itu, wakil rakyat era reformasi banyak masuk bui gara-gara korupsi. Pemerintahan Habibie, rakyat bersedih, propinsi Timor Timur yang dipertahankan oleh darah prajurit lepas begitu saja. Tapi Habibie sempat juga dipuji, berkat kepiawaiannya dia bisa menekan kenaikan dollar AS. Ia juga disanjung oleh PNS karena diam-diam naikkan gaji tanpa diketahui pedagang. Dilain pihak aset-aset negara yang potensial itu dirancang untuk go publik. Ceritanya yang beli pengusaha itu juga bekerjasama dengan pihak luar negeri….ya dunia sandiwara.

Kemudian ketika negeri ini dipimpin oleh Gus Dur, presiden yang dikenal lucu langsung mengunjungi tanah Yahudi guna silaturrahmi dan dibuka kran sebesar-besarnya bagi masuknya investasi asing termasuk kemudahan-kemudahan yang diberikan. Leluconnya adalah, ia tidak segan-segan menertawakan dan menilai anggota dewan seperti anak TK (Tukang Korupsi).

Gus Dur selalu menghargai dan memperingati semua hari keagamaan, yang sejak zaman Presiden terdahulu dilarang, contohnya Imlek. Dia juga punya pasukan berani mati dan beliau tidak tahu masuknya bantuan dana dari Brunei Darussalam untuk Aceh. Begitu kepemimpinannya diganti Megawati, apa yang terjadi?

Hutan dan rimba tidak ada lagi, karena ditebangi dan hasilnya dinikmati oleh pencuri. Industri strategis dijual demi mengeruk keuntungan mengejar komisi. Bahkan aset negara dijual ke negara tetangga Singapura dan Malaysia. Ironisnya, pulau kebanggaan Sipadan dan Ligitan dicaplok oleh Malaysia. Maklum presiden RI wanita.

Ahli Ekonomi Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo (alm.) pernah memberi peringatan bahwa Indonesia ini seperti ladang, kalau tak hati-hati mengurusnya bisa bahaya. Ibaratnya, sekarang masih kerbau, lalu jadi kambing. Kambing menjadi ayam, dan seterusnya. Akhirnya tak ada yang tinggal lagi. Sekarang peringatan Sang Profesor makin mendekati kenyataan. Uang sudah nyaris tak punya harga lagi. Nilai uang seribu rupiah tahun lalu, mungkin tinggal lima ratus rupiah hari ini, karena harga-harga sudah naik dua kali lipat. Penghasilan? Ya begitu-begitu saja. Rencana pemerintah menaikkan gaji pegawai, ternyata sudah didahului oleh kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok rakyat. Maka berlakulah pepatah; ayam bertelor di atas padi mati kelaparan, itik berenang dalam air mati kehausan. Kekayaan yang dimiliki negeri ini tak memberi berkah bagi rakyatnya. Lantas, apa yang salah sehingga bangsa ini begitu menderita? Manusianya yang salah. Pemimpinnya yang salah. Kita lupa bertanya secara jujur kepada hati nurani. Kita selalu terperangkap dalam pola pikir ekonomi-fisik-uang. Bangunan yang belum masanya dirobohkan, sudah dihancurkan demi mengejar yang namanya uang proyek. Padahal di dalam bangunan itu ada sumberdaya manusia yang seharusnya lebih perlu ditingkatkan kualitasnya, ketimbang memaksa pembangunan bangunan baru.

Pepatah mengatakan : Taneman Maelo Todak, Naik Sampan Turun Parahu, Berpedoman Kami Nan Tidak, Angin Bakisau Kami Tau

Setelah mengilas balik fenomena ril di masyarakat kita, saatnya kita berubah. Karena seperti apa yang dipesankan oleh Prof. Soemitro, kalau negara ini tak diurus dengan hati-hati, suatu waktu akan hancur. Maka, untuk melakukan perubahan, tak mesti lewat sebuah revolusi besar, tetapi cukup mulai dengan yang terkecil, dari masing-masing individu, meluas ke keluarga, lingkungan dan bangsa.

Pangkal dari krisis yang dialami bangsa ini hingga sekarang adalah; karena terabaikannya aspek moral-agama-budaya dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Agama yang dianut oleh anak-bangsa ini kian rapuh diterpa modernisasi, begitu juga moral dan budaya. Jadi untuk mengobati bangsa ini, harus dilakukan telaah agama-moral-budaya secara serius.

Bangkitlah pemuda/i saudaraku sebangsa, dengarlah panggilan tanah air tercinta

Zaman dahulu manusia yang miskin yang berkekurangan artinya manusia hidup hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan nafkah sehari-hari takut berhutang. Zaman sekarang manusia yang kaya selalu berhutang karena ia hidup selalu merasa kekurangan. Artinya manusia itu hidup tidak masalah dililit oleh hutang, yang penting cari kelebihan kepuasan hidup selaku manusia modern mengutamakan gengsi dan penampilan. (Binatang yang buas namun kenyataan manusia itu lebih buas dari binatang).

Peringkat Indonesia dalam soal korupsi dari tahun ke tahun selalu berubah. Tapi berubahnya dari itu ke itu juga. Selalu di nomor atas. Maksudnya, berapa kalipun dilakukan riset dan survei, korupsi di Indonesia selalu masuk golongan negara terparah. Tapi kenapa sebagai bangsa yang menjadikan ’alam takambang jadi guru’, bangsa ini tak pernah mau belajar dari kesalahan tersebut. Anak kecil juga tahu, untuk membersihkan halaman yang kotor harus menggunakan sapu yang bersih. Untuk membersihkan negeri ini dari korupsi, harus ada sistem hukum yang baik dan manusianya yang bersih serta kredibelitasnya terjamin. Tapi di sini, aparat penegak hukum sendiri tidak bersih, bagaimana bisa mengharapkan mereka berani membersihkan belantara korupsi yang sudah begitu akutnya? Akhirnya, yang kita dengar dan lihat cuma ’maling teriak maling’. Korupsi jalan terus, negara makin hancur.

Dalam ranah politik juga begitu. Kita selalu berat hati untuk mengatakan bahwa lembaga parlemen kita juga sarang koruptor. Padahal, dari waktu ke waktu kita disuguhi oleh pemandangan memalukan dari gedung parlemen tersebut bahwa mereka yang menyebut diri ’orang terhormat’ itu selalu mencari kesempatan dan dalih untuk mempurukkan duit ke kantong pribadinya. Sementara di seberang sana, rakyat yang mereka wakili menjerit mati kelaparan karena harga-harga yang makin tak terjangkau.

Dalam kehidupan kenegaraan, juga bisa diibaratkan seperti kehidupan di rumah tangga. Pada tahun-tahun awal, mungkin saja terjadi cek-cok dan ribut-ribut untuk mencari kesesuaian dan penempatan diri dalam keluarga. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya, sebagai kepala negara (identik dengan kepala keluarga di rumah tangga) terbukti telah bertindak arif dan bijaksana. Dia sangat mengerti perannya sebagai kepala negara yang tidak perlu banyak bicara. Dengan pembawaan yang tenang dan pasti SBY telah mensortir para pembantunya, mana yang berbuat dengan hati nurani untuk kebaikan bangsa, mana yang berbuat hanya untuk uang ini. Tindakan yang diambil SBY sudah tepat, karena begitu rumitnya persoalan yang ditinggalkan oleh tiga presiden sebelum SBY. Bukti kebijaksanaannya perombakan Kabinet Gotong Royong tidak menimbulkan gejolak dan keributan. Malah orang/tokoh yang sebelumnya selalu mengejek sikap SBY jadi malu sendiri dan berdiam diri, termasuk dari publikasi. Karena biarlah mereka itu berbicara mencaci maki atau menghujat tetapi perbuatan sendiri yang akan menghukum dirinya sendiri nanti lebih berat hukuman itu (Hukum Adat) dari pada dimasukkan ke bui (sel tahanan), kasihan anak, istri dan cucu teraniaya hidupnya nanti (hukum pemerintah).

SBY menyadari negara ini baru belajar demokrasi, beliau selaku kepala negara melihat banyak yang tidak berfungsi, seperti BPK, BPKP yang belum sesuai dengan tugas yang diembannya untuk membangun negeri termasuk lembaga peradilan, maka dibentuklah KPK dan Mahkamah Konstitusi di luar lembaga yang telah ada. Sebetulnya itu bisa dijadikan satu lembaga saja, sehingga tidak banyak mengeluarkan biaya. Di lain pihak partai politik yang ada terlampau banyak, sehingga demokrasi terlalu kebanyakan akhirnya kebablasan. Diibaratkan preman, kalau jumlahnya banyak, maka masalah juga akan banyak. Seyogyanya cukup tiga saja, supaya dapat mengaturnya menjadi lebih baik dan musyawarah mufakatpun lebih terdengar dan bisa diputuskan dengan lebih bijaksana. Coba kita renungkan dengan pikiran dan akal sehat. Bukan berarti dijadikan tiga partai, pemerintah bersikap otoriter.

Kita prediksi, lima tahun ke depan akan terasa hasilnya. Ini bila SBY tetap konsisten serta isteri dan anak-anaknya kompak. Apa yang tampak dalam kehidupan keluarganya, bisa mencerminkan kehidupan bangsa yang dipimpinnya. Dalam kehidupan berkeluarga, mereka sudah dewasa usianya. Untuk membuktikan diri, tentu saja SBY harus belajar banyak dari kelemahan para pendahulunya.

Judul tulisan di atas sengaja dipilih, karena satu sama lainnya tak bisa dipisahkan. Menelanjangi diri sendiri mengandung arti bahwa siapa saja, baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat melihat dirinya sendiri. Dari potret itulah dengan jujur kita semua bisa mengakui bahwa di badan kita dan di masyarakat kita ada cacat-kebaikan, ada kesalahan-kebenaran. Hanya dengan kejujuran mengakui semua itulah, kita dan bangsa ini bisa membangun masyarakat baru yang lebih baik.

Masuk kandang kambing kita mengembek, masuk kandang harimau kita mengaum, namun masuk kandang ayam jangan berkotek, sama kita dengan ayam. Atau diambil ayamnya ditangkap polisi nanti, jadi ambillah telurnya (ilmu) ayamnya tidak tahu.

Maka dari itu kita hidup penuh dengan Optimis (Oke Tak Miskin) daripada Pesimis (Pasti Miskin). Sama artinya; kalau takut rugi, akan rugi selamanya. Wassalam…


Dunia Sudah Terbalik

Bismillahirrahmanirrahim

Ganti pejabat ganti kebijaksanaan, sudah lumrah di negeri ini. Sehingga, rakyat sudah harus bersiap menjadi korban setiap ada pergantian pejabat, karena biasanya akan diiringi dengan keluarnya kebijaksanaan baru yang memberatkan rakyat. Korbannya bisa anak sekolah, pedagang, pengurus izin usaha, petani, nelayan, atau siapa saja. Padahal, pergantian pejabat bukan berarti harus mengganti atau merombak kebijaksanaan pejabat terdahulu, seperti yang terjadi PLN, PDAM jual gituan aja kok rugi terus. Alasan selalu efisiensi, enggak pakai modal biaya besar (maling teriak maling). Halo KPK...! Kok diam saja. Melainkan melanjutkan apa yang baik, ditingkatkan.

Untuk menjadi seorang pemimpin itu dipilih orangnya bukan partainya, sehingga dia akan memihak kepada rakyat bukan kepada partainya karena dia dipilih oleh rakyat. Salah satu contoh nasib rakyat yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima sudah diusir dari lokasi berjualan lalu ditindas, tidak diberikan lokasi yang baru untuk berjualan lagi, mereka itu bukan mencari kekayaan melainkan mencari sesuap nasi dan mencari untuk kesejahteraan keluarganya, tapi kebanyakan pemimpin tidak peduli akan nasib rakyat seperti itu, kalau begitu lebih baik mundur saja menjadi pemimpin, memimpin dirinya saja belum bisa apalagi memimpin masyarakat umum.

Aparatur pemerintahan yang kurang bagus, karena yang memilih dan mengangkat kurang bagus pula. Misalnya calon gubernur, walikota dan bupati, seharusnya bukan dipilih oleh partai, karena yang terjadi selama ini adalah praktik pemerasan oleh partai terhadap calon. Bila dipilih oleh partai politik, berarti jabatan itu sama dengan ditenderkan atau diproyekkan. Kalau tender tentu ada pemborong, hasilnya jika dipilih nanti jadi pembohong. Wajar mereka jadi pembohong demi untuk membalikkan/mengembalikan modal sebelum jadi kepala daerah yang sudah diinvestasikan. Istilah perkataan gubernur, walikota dan bupati selalu hebat dan bagus sejak dari zaman dahulu kala (rancak jadi perampok di nagari urang, baru memimpin kampung halaman indak kajadi parampok lai).

Jadi gubernur atau walikota mereka harus tahu dengan kondisi daerahnya. Aneh, begitu jadi walikota tidak tahu dengan situasi daerah sendiri dan desa-desa terpencil termasuk kelurahan. Jadi bagaimana membangun masyarakat kalau tidak tahu dengan daerah kekuasaannya. Selaku pemimpin harus tahu kebutuhan serta keperluan masing-masing daerah itu demi kemajuan daerah dan masyarakat ke depan, ia katakan ia, bila tidak katakan tidak, karena jabatan itu amanah dari rakyat, bukan proyek tender yang dibuat untuk menguras uang rakyat (takurung harus didalam, taimpik harus dibawah). Apabila anda selaku warga negara yang baik dan menyadari saudara memilih atau dipilih oleh rakyat dan bukan partai, mari bersama-sama meluruskan dan menegakkan citra bangsa Indonesia.

Mencermati sering terjadinya kerusuhan usai dilakukannya Pilkada sehingga memakan korban manusia, kita melihat Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) hanya sebagai penonton saja yang tidak mempunyai kekuatan untuk membawa pelanggar pemilu ke depan pengadilan (Mahkamah). Seperti pelanggaran kartu ganda, kartu orang meninggal hidup lagi dan sebagainya. Hal ini dikarenakan undang-undang tidak mendukung Panwaslu untuk berbuat lebih jauh. Dalam hal ini agar Panwaslu punya kekuatan maka perlu adanya Undang-undang yang direvisi. Bila tidak bubarkan saja Panwaslu ganti dengan tugas Kepolisian. Karena hal ini menyimpang, merupakan tindak pidana murni/sabotase.

Bila diri kita dipilih jadi walikota, gubernur, menteri dan jabatan lain, sebaiknya berjanji kepada Tuhan YME. Berkatalah; dengan jabatan ini saya bersedia meluangkan waktu dan umur

saya ini selama lima tahun untuk kepentingan masyarakat, berbuat segala kebaikan untuk rakyat di daerah yang saya pimpin, jabatan yang saya pegang sebagai amanah rakyat, bukan proyek tender jabatan/pemborong/pembohong. Rakyat bisa membuktikan kapasitas dan nilai diri saya ; pandaikah, cerdas, bijaksana dan berani. Saya akan katakan yang benar itu benar, salah itu tetap salah. Seluruh kegiatan yang ada di desa-desa dan kecamatan hapal di luar kepala. Apa saja yang saya perbuat ke depan, adalah karena keinginan rakyat, demi kemajuan bersama

Harusnya kita menyadari jabatan yang didapat ini tidaklah mudah, penuh perjuangan, kenapa disia-siakan dan jabatan yang kita pimpin adalah amanah. Binatang saja di hutan bisa tertib dan hidup saling menghargai, kenapa manusia yang memiliki otak dan pikiran serta pengetahuan sifatnya melebihi binatang, tidak tertib dan susah diatur.

Harimau mati meninggalkan belang, manusia wafat meninggalkan nama baik, gubernur, bupati dan walikota meninggalkan.............................Kalau Pejabat tentu meninggalkan……………………………. perangai?