Pada tahun 80-an pengusaha rempah-rempah bumbu pemasak makanan terkenal di
Ternyata, mereka yang punya bibir sumbing, punya tabiat sumbing pula. Kalau dulu, ketika masih cacat bicaranya tak jelas, suara yang keluar dari bibirnya, sengau dan kurang jelas omongannya. Tapi setelah dioperasi, ia ceplas-ceplos dan bicaranya lantang. Bahkan, ketika berkarir di politik atau memegang satu jabatan empuk bukan main angkuhnya.Ia tak lagi sadar, suara indah yang keluar melalui kerongkongan berkat operasi. Kemudian, semua janji-janji yang pernah dilontarkan kepada rakyat saat kampanye sudah dilupakan. Jadi jangan heran, kalau rakyat mencaci-maki kelakuannya dan mengibaratkan sebagai anjing.
Lucunya, anjing sebagai simbol binatang piaraan untuk menjaga rumah mereka bunuh. Ini tak lain, disebabkan rasa ketakutan berjangkit-nya virus anjing gila. Binatang penjaga rumah itu matinya cukup menggenaskan, ada yang sengaja diberi racun atau ditabrak kendaraan roda empat.
Kekejaman yang dilakukan itu sangat beralasan,karena sebagai pengganti binatang itu sudah ada. Yaitu, mereka sendiri. Buktinya, anggota dewan terhormat lebih banyak bicara daripada kerja. Bahkan, gonggongan anggota dewan tidak lagi ditakuti. Karena rakyat sudah tahu semua perbuatan dan kenistaan yang mereka lakukan.
Jadi tak bisa dipungkiri, hukum di tangan mereka bagaikan bola yang dapat ditendang kesana kemari. Tapi hukum bagi rakyat jelata bagaikan pedang yang menusuk ke hulu hati. Betapa sulitnya mencari orang yang dapat dipercaya di negeri ini, karena pemimpin atau kaum cendikiawan tak suci lagi.
Pada zaman orde lama, masa pemerintahan Ir. Soekarno ada kebijaksanaan, semua perusahaan asing yang beroperasi di tanah air harus dinasionalisasikan. Tujuannya, perusahaan asing itu dijadikan perusahaan negara. Saat itu, banyak perusahaan perkebunan, semen, batu bara dan perusahaan tambang milik orang asing disulap jadi perusahaan nasional selama lebih kurang 16 tahun memerintah.
Kemudian di era orde baru terakhir, adanya kabut asap yang terjadi selama enam bulan di Pulau Sumatera dan kemarau panjang di Pulau Jawa, adalah “tanda alam” bakal terjadi peristiwa penting di tanah air. Kenyataannya benar, H.M. Soeharto melepaskan jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, selama 32 tahun beliau memimpin bangsa ini dengan suka duka dan kenangan.
Di saat usianya mulai renta, Soeharto didesak oleh mahasiswa untuk turun, sebagai gantinya B.J. Habibie wakil sekaligus murid setianya yang dikenal sebagai ahli teknologi. Lengsernya Soeharto dari jabatannya, ada beberapa pertanda alam, seperti; batuk-batuknya Gunung Merapi karena tidak tahan menahan sedih. Gunung Merapi yang dikenal memiliki keramat dengan posisi menghadap kiblat didampingi permaisurinya Gunung Singgalang, ternyata tak mampu menahan kehendak Allah, jatuhnya sang pemimpin dari tampuk kekuasaan.
Sebagai bangsa besar dan berwibawa, membuat
Soeharto punya program jitu untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa. Program PELITA (Pembangunan Lima Tahun) serta menghargai para petani dan pedagang kecil, yang dikenal ekonomi Pasar Inpres. Pokoknya berbau Inpres, berjalan dengan baik.
Pada pemerintahan Orde baru memang banyak kejanggalan tapi semua bungkam. Tahun 1978, masyarakat yang dinilai berjasa meski sudah masuk usia pensiun dapat jabatan empuk menduduki posisi penting. Namun apa yang terjadi, jabatan itu disalahgunakan, kebijaksanaan tidak lagi sempurna. Saat itu, dibuka kran untuk jadi PNS secara besar-besaran. Penerimaan tidak lagi menurut aturan yaitu tanpa test. Bahkan, ada oknum Lurah yang tidak bisa tulis baca. Masya Allah, kerjanya cuma cari harta.
Soeharto menyadari sebagai manusia dia punya keterbatasan. Namun karena hasutan dan laporan yang selalu cari muka, ABS (Asal Bapak Senang) ia terjebak. Pada tahun 1982, Soeharto ingin mundur sebagai presiden RI. Tapi dicegah oleh Harmoko. Berkat laporan menyenangkan Harmoko, ia kembali naik takhta.
Harmoko dengan kekuasaannya sebagai Menteri Penerangan dengan pongahnya membredeli media
Tahun 1996, terjadi likuidasi Bank. Celakanya BI (Bank
Pengusaha cukup dengan bermodalkan selembar
Puncaknya pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto tidak kuat menahan gempuran desakan mahasiswa. Kemudian tampuk kekuasaan ia serahkan pada Habibie. Dia berkata, ”mampukah anda memimpin bangsa ini.” Jasa Soeharto tetap dikenang oleh anak bangsa.
Saat Habibie berkuasa banyak terjadi kemunafikan dan sesama umat Islam saling tidak percaya dengan hari besarnya. Sementara Habibie tidak punya strategi seperti yang dimiliki gurunya Soeharto. Karena tuntutan reformasi untuk menegakkan demokrasi, lalu berdirilah dengan jumlah besar “partai politik”. Celakanya, yang mendirikan partai banyak yang masuk usia uzur dan pengangguran. Semboyan partai yang mereka dirikan “demi kesejahteraan rakyat tapi menguras uang rakyat”.
Kemudian ketika negeri ini dipimpin oleh Gus Dur, presiden yang dikenal lucu langsung mengunjungi tanah Yahudi guna silaturrahmi dan dibuka kran sebesar-besarnya bagi masuknya investasi asing termasuk kemudahan-kemudahan yang diberikan. Leluconnya adalah, ia tidak segan-segan menertawakan dan menilai anggota dewan seperti anak TK (Tukang Korupsi).
Gus Dur selalu menghargai dan memperingati semua hari keagamaan, yang sejak zaman Presiden terdahulu dilarang, contohnya Imlek. Dia juga punya pasukan berani mati dan beliau tidak tahu masuknya bantuan dana dari Brunei Darussalam untuk Aceh. Begitu kepemimpinannya diganti Megawati, apa yang terjadi?
Hutan dan rimba tidak ada lagi, karena ditebangi dan hasilnya dinikmati oleh pencuri. Industri strategis dijual demi mengeruk keuntungan mengejar komisi. Bahkan aset negara dijual ke negara tetangga Singapura dan
Ahli Ekonomi Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo (alm.) pernah memberi peringatan bahwa
Pepatah mengatakan : Taneman Maelo Todak, Naik Sampan Turun Parahu, Berpedoman Kami Nan Tidak, Angin Bakisau Kami Tau
Setelah mengilas balik fenomena ril di masyarakat kita, saatnya kita berubah. Karena seperti apa yang dipesankan oleh Prof. Soemitro, kalau negara ini tak diurus dengan hati-hati, suatu waktu akan hancur. Maka, untuk melakukan perubahan, tak mesti lewat sebuah revolusi besar, tetapi cukup mulai dengan yang terkecil, dari masing-masing individu, meluas ke keluarga, lingkungan dan bangsa.
Pangkal dari krisis yang dialami bangsa ini hingga sekarang adalah; karena terabaikannya aspek moral-agama-budaya dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Agama yang dianut oleh anak-bangsa ini kian rapuh diterpa modernisasi, begitu juga moral dan budaya. Jadi untuk mengobati bangsa ini, harus dilakukan telaah agama-moral-budaya secara serius.
Bangkitlah pemuda/i saudaraku sebangsa, dengarlah panggilan tanah air tercinta
Zaman dahulu manusia yang miskin yang berkekurangan artinya manusia hidup hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan nafkah sehari-hari takut berhutang. Zaman sekarang manusia yang kaya selalu berhutang karena ia hidup selalu merasa kekurangan. Artinya manusia itu hidup tidak masalah dililit oleh hutang, yang penting cari kelebihan kepuasan hidup selaku manusia modern mengutamakan gengsi dan penampilan. (Binatang yang buas namun kenyataan manusia itu lebih buas dari binatang).
Peringkat
Dalam ranah politik juga begitu. Kita selalu berat hati untuk mengatakan bahwa lembaga parlemen kita juga sarang koruptor. Padahal, dari waktu ke waktu kita disuguhi oleh pemandangan memalukan dari gedung parlemen tersebut bahwa mereka yang menyebut diri ’orang terhormat’ itu selalu mencari kesempatan dan dalih untuk mempurukkan duit ke kantong pribadinya. Sementara di seberang
Dalam kehidupan kenegaraan, juga bisa diibaratkan seperti kehidupan di rumah tangga. Pada tahun-tahun awal, mungkin saja terjadi cek-cok dan ribut-ribut untuk mencari kesesuaian dan penempatan diri dalam keluarga. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya, sebagai kepala negara (identik dengan kepala keluarga di rumah tangga) terbukti telah bertindak arif dan bijaksana. Dia sangat mengerti perannya sebagai kepala negara yang tidak perlu banyak bicara. Dengan pembawaan yang tenang dan pasti SBY telah mensortir para pembantunya, mana yang berbuat dengan hati nurani untuk kebaikan bangsa, mana yang berbuat hanya untuk uang ini. Tindakan yang diambil SBY sudah tepat, karena begitu rumitnya persoalan yang ditinggalkan oleh tiga presiden sebelum SBY. Bukti kebijaksanaannya perombakan Kabinet Gotong Royong tidak menimbulkan gejolak dan keributan. Malah orang/tokoh yang sebelumnya selalu mengejek sikap SBY jadi malu sendiri dan berdiam diri, termasuk dari publikasi. Karena biarlah mereka itu berbicara mencaci maki atau menghujat tetapi perbuatan sendiri yang akan menghukum dirinya sendiri nanti lebih berat hukuman itu (Hukum Adat) dari pada dimasukkan ke bui (sel tahanan), kasihan anak, istri dan cucu teraniaya hidupnya nanti (hukum pemerintah).
SBY menyadari negara ini baru belajar demokrasi, beliau selaku kepala negara melihat banyak yang tidak berfungsi, seperti BPK, BPKP yang belum sesuai dengan tugas yang diembannya untuk membangun negeri termasuk lembaga peradilan, maka dibentuklah KPK dan Mahkamah Konstitusi di luar lembaga yang telah ada. Sebetulnya itu bisa dijadikan satu lembaga saja, sehingga tidak banyak mengeluarkan biaya. Di lain pihak partai politik yang ada terlampau banyak, sehingga demokrasi terlalu kebanyakan akhirnya kebablasan. Diibaratkan preman, kalau jumlahnya banyak, maka masalah juga akan banyak. Seyogyanya cukup tiga saja, supaya dapat mengaturnya menjadi lebih baik dan musyawarah mufakatpun lebih terdengar dan bisa diputuskan dengan lebih bijaksana. Coba kita renungkan dengan pikiran dan akal sehat. Bukan berarti dijadikan tiga partai, pemerintah bersikap otoriter.
Kita prediksi,
Judul tulisan di atas sengaja dipilih, karena satu sama lainnya tak bisa dipisahkan. Menelanjangi diri sendiri mengandung arti bahwa siapa saja, baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat melihat dirinya sendiri. Dari potret itulah dengan jujur kita semua bisa mengakui bahwa di badan kita dan di masyarakat kita ada cacat-kebaikan, ada kesalahan-kebenaran. Hanya dengan kejujuran mengakui semua itulah, kita dan bangsa ini bisa membangun masyarakat baru yang lebih baik.
Masuk kandang kambing kita mengembek, masuk kandang harimau kita mengaum, namun masuk kandang ayam jangan berkotek, sama kita dengan ayam. Atau diambil ayamnya ditangkap polisi nanti, jadi ambillah telurnya (ilmu) ayamnya tidak tahu.
Maka dari itu kita hidup penuh dengan Optimis (Oke Tak Miskin) daripada Pesimis (Pasti Miskin). Sama artinya; kalau takut rugi, akan rugi selamanya. Wassalam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar